RASA takut yang dialami anak adalah hal biasa. Namun, ada baiknya Anda
membantu mengatasinya agar ketakutan tersebut tak berlanjut menjadi
fobia.
Merasa cemas dalam situasi tertentu yang tidak nyaman,
tentu tidak pernah menyenangkan. Namun, ketakutan sebenarnya merupakan
suatu keadaan alamiah yang membantu individu melindungi dirinya dari
suatu bahaya, sekaligus memberi pengalaman baru. Bahkan, pada anak-anak,
perasaan seperti ini tidak hanya normal, tetapi juga sangat dibutuhkan.
Merasakan
dan mengatasi rasa cemas dapat membantu anak-anak mempersiapkan diri
untuk menghadapi pengalaman-pengalaman yang membingungkan dan situasi
yang menantang dalam kehidupan. Memiliki ketakutan dan kecemasan
terhadap hal-hal tertentu sebenarnya bisa membantu untuk menjaga tingkah
lakunya. Contohnya, seorang anak dengan ketakutannya terhadap api akan
membuatnya menghindari bermain dengan korek api.
Ironisnya,
ketakutan pada anak justru muncul karena “ditularkan” orangtuanya.
Karena takut pada sesuatu atau kondisi tertentu, tanpa sadar orangtua
akan melarang anak dengan cara menakut-nakutinya. Misalnya, “Awas ada
kucing, nanti kamu dicakar!” Atau “Pokoknya, kalau makannya enggak
habis, Mama panggilin dokter biar nyuntik kamu!”.
Memang, metode
semacam ini amat tokcer untuk “memaksa” anak mau menuruti keinginan
orangtua. Alhasil, anak selalu takut jika melihat bahkan mendengar suara
sosok siapa pun atau binatang yang baginya telanjur dianggap
menyeramkan. Padahal, sosok ataupun binatang yang selama ini dianggap
menakutkan si kecil tersebut, sebetulnya sama sekali tak berbahaya.
Bentuk
ekspresi ketakutan itu sendiri bisa macam-macam. Biasanya lewat
tangisan, jeritan, bersembunyi, atau tak mau lepas dari orangtuanya.
Biasanya, rasa takut ini akan hilang sendirinya seiring berjalannya
waktu. Saat anak merasa aman dengan dirinya sendiri ataupun
lingkungannya, hilanglah rasa takut tadi. Tentu saja diperlukan dukungan
orangtua.
Yang jadi masalah adalah, bilamana rasa takut
mengendap dan tak teratasi sehingga berpengaruh pada aktivitas
sehari-hari anak. Bahkan, bisa mengarah jadi ketakutan yang bersifat
patologis. Malah, bisa berlanjut ke fobia alias ketakutan berlebihan
karena pernah mengalami kejadian tertentu atau trauma.
Trauma
tersebut dapat berupa psikologis atau fisik. Misalnya gara-gara takut
tikus; tiap kali melihat hewan itu, dia akan menjerit ketakutan. Fobia
juga mulai setelah adanya tekanan yang umum dalam kehidupan. Sekali
fobia telah terjangkit maka dapat menjalar ke pancaindra lainnya.
Jika
sampai mengarah pada fobia, kehidupan anak dapat terhambat. Bahkan,
apabila terlalu hebat rasa takutnya, si anak tidak dapat berbuat apa
pun. Mengapa? Karena bagi sebagian orang, fobia sulit dipahami. Itu
sebabnya, hal ini sering dijadikan bulan-bulanan, ejekan, ledekan
teman-teman sekitarnya.
“Jika tidak dilakukan terapi dan
perawatan intensif, anak-anak yang menderita ketakutan berlebihan ini
akan berisiko besar membawanya hingga dewasa kelak,” kata Lena
Reuterskiöld, terapis fobia dari The Swedish Research Council.
Objek
ketakutan anak itu sendiri dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu
ketakutan terhadap suatu benda atau binatang tertentu, misalnya api,
kecoa, tikus. Lalu, ketakutan terhadap situasi tertentu. Takut akan
tempat terbuka atau takut ketinggian misalnya. Jenis ketakutan terakhir
adalah ketakutan terhadap suatu suasana sosial tertentu. Misalnya takut
berada di kelas baru.
Untuk mengatasi rasa takut yang berlebihan
pada anak, yang harus dilakukan orangtua adalah membangunkan konsep
diri anak yang positif sehingga percaya diri sebagai modal untuk
memasuki dunia luarnya. Usahakan anak mengenal namanya dengan segala
predikat positif yang disandangnya. Beri kesempatan anak berinteraksi
dengan dunia luarnya. Libatkan dalam setiap aktivitas sosial yang
memungkinkan keterlibatannya, misalnya menghadiri pertemuan keluarga
atau belanja di toko.
Tidak kalah penting adalah membangun
komunikasi dengan anak selama proses interaksi berlangsung. Orangtua
mengenalkan orang-orang, tempat atau suasana yang terjadi selama
kegiatan tersebut berlangsung. Menanyakan dan memahami perasaan yang
dialami anak selama kegiatan berlangsung. Selain itu, berikan jaminan
bahwa lingkungan tempat dia berada sekarang merupakan tempat yang
menyenangkan dan dipenuhi orang-orang yang menyenangkan pula.
Sebaiknya
Anda juga menanamkan sifat keberanian. Mulailah dengan hal-hal yang
kecil. Misalnya mulai membiasakan si kecil ke kamar mandi sendiri. Bila
si kecil sudah menginjak usia 3 atau 4 tahun, ada baiknya Anda mulai
membiasakan si kecil untuk tidur sendiri. Mematikan lampu saat tidur
juga bisa mulai dicoba.
Orangtua juga dapat melakukan sikap
empati dan mendukung. Sikap empati dapat ditunjukkan orangtua dengan
cara memahami dan memandang hal tersebut dari sudut pandang anak.
Bantulah anak memahami apa yang sedang dia alami atau rasakan saat itu.
Berikanlah
kesempatan kepada anak untuk membicarakan apa yang sedang dia rasakan
atau yang sedang dia alami tersebut. Berikanlah penjelasan dan
yakinkanlah secara bijak kepadanya bahwa apa yang ditakutkannya tersebut
adalah tidak benar.
Pada saat anak merasa takut, mainan adalah
salah satu hal yang dapat menghibur anak tersebut. Ketika anak sakit
misalnya, mainan yang mereka sukai dan memadai pula untuk kondisi mereka
dapat digunakan sebagai pendamping mereka sehingga ada hiburan yang
mereka rasakan. Selain itu, mainan juga dapat mengalihkan perhatian dari
stres yang anak alami.
Jika ketakutan anak Anda terlihat
berlebihan seperti penyebab stres, ini mungkin adalah sebuah pertanda
akan kebutuhan untuk mencari pertolongan dari luar seperti pada
konselor, psikiater, atau psikolog.
Para orangtua sebaiknya
memperhatikan polanya. Jika insiden ini bisa diselesaikan, jangan
membuatnya lebih signifikan lagi dari itu. Akan tetapi, apabila polanya
terlihat terus-menerus sama, para orangtua harus melakukan sebuah
tindakan. Jika tidak, fobianya akan terus berpengaruh pada sang anak.
Hubungilah dokter atau ahli kesehatan mental yang terbiasa bekerja sama
dengan anak-anak dan remaja.