Tapi hati-hati, saking terlalu subur malah jadi kehilangan anak. Periksa dulu, apa betul enggak subur atau ada sebab lain.
  
Belum lama ini di Roma, Italia, seorang ibu yang  melakukan terapi kesuburan dengan menggunakan obat penyubur melahirkan  bayi kembar 8. Namun malang, semua bayi yang masing-masing BB-nya cuma  berkisar antara 400-500 gram itu, tak mampu bertahan hidup. Satu per  satu kembali ke pangkuan Yang Kuasa beberapa jam setelah lahir. Bahkan,  di antaranya ada yang meninggal sejak di kandungan.
  
Sungguh tragis, ya, Bu-Pak. Ingin punya anak, tapi  setelah didapat malah langsung kehilangan lagi. Itulah mengapa, dr. Med.  Ali Baziad, SpOG, dari bagian reproduksi dan fertilitas RSUPN Cipto  Mangunkusumo, Jakarta, mengingatkan, hati-hati menggunakan obat penyubur  karena obat ini bukan tanpa efek samping. “Selain menyebabkan kematian  bayi, juga berisiko kecacatan janin.” Ih, serem, ya!
  
PERIKSA DULU
  
Ali menganjurkan, sebaiknya pasangan yang tak kunjung  punya anak jangan buru-buru menggunakan obat penyubur. Soalnya,  penyebab infertilitas bukan semata-mata lantaran si wanita enggak subur.  “Yang enggak subur itu cuma berkisar antara 15-20 persen. Selebihnya  bisa karena infeksi, saluran telur tersumbat, tempat menetasnya telur  terganggu, endometriosis, kelainan rahim, dan sebagainya,” terangnya.  Bahkan, tambahnya, stres pun bisa bikin wanita sulit hamil.
  
Sayangnya, faktor penyulit kehamilan yang 80 persen  itu tak pernah dipikirkan orang. Kebanyakan orang bila menjumpai  pasangan tak juga punya anak setelah sekian tahun menikah, pasti  langsung “menuding” si wanitanya enggak subur. Akibatnya, pasangan  tersebut buru-buru minta obat penyubur pada dokter. “Nah, ini bisa  menjadi malapetaka kalau kebetulan mendapat dokter yang malas memeriksa  pasien, hingga ia asal main suntik atau memberi obat penyubur.” Soalnya,  jika diperiksa lebih teliti, bisa saja, kan, penyebabnya bukan lantaran  si wanita enggak subur tapi karena hal lain.
  
Jikapun setelah diteliti ternyata si wanita memang  enggak subur, “dokter juga tak boleh sembarangan memberikan obat  penyubur.” Pasalnya, penyebab ketidaksuburan juga bermacam-macam. Salah  satunya, sel telur tak pecah atau kematangan telurnya enggak baik, yang  dikenal dengan istilah anovulasi. “Untuk terjadi kehamilan itu, kan,  harus ada pembuahan yang membutuhkan sel telur dan sperma. Nah, kalau  sel telurnya enggak matang atau enggak pecah, maka tak akan terjadi  pembuahan. Inilah salah satu yang bikin pasangan tersebut tak juga punya  anak,” terang Ali lebih lanjut.
  
KEHAMILAN BANYAK
  
Penyebab sel telur tak matang/pecah, juga bukan cuma  satu. Di antaranya, gangguan hormonal. Nah, obat penyubur berisi hormon  yang bisa merangsang pematangan sel telur. Namun karena kasus anovulasi  ini sangat kecil, Ali minta sebaiknya diperiksa dulu, apa benar si  wanita anovulasi.
  
Kalau tidak, “bisa terjadi si wanita sebenarnya  ovulasi, hingga pemberian obat penyubur malah menimbulkan efek samping  setelah sel telur dibuahi, yaitu menimbulkan rangsangan berlebihan atau  hiperstimulasi hingga terjadilah kehamilan kembar atau banyak.” Jika  sudah begitu, tak ada tindakan apa pun yang bisa dilakukan kecuali  meneruskan kehamilan. Hingga risikonya, bayi meninggal dalam kandungan  atau setelah dilahirkan lantaran berat badannya kurang.
  
Bukan berarti wanita yang anovulasi setelah diberi  obat penyubur takkan mengalami hal tersebut, lo. Ingat, obat penyubur  merangsang pematangan sel telur. Nah, sel telur yang matang ini bisa  saja bukan cuma satu, tapi dua, tiga, empat, lima, bahkan lebih. Hingga,  bila semua sel telur yang matang ini dibuahi, terjadilah kehamilan yang  banyak. Itulah mengapa, tegas Ali, jangan sembarangan menggunakan obat  penyubur.
  
Untuk mengetahui ovulasi tidaknya, bisa dilihat dari  usia perkawinan yang lama tapi belum juga hamil, disertai  keluhan-keluhan seperti sering sakit saat menstruasi dan menstruasi tak  teratur atau sering terlambat. Namun untuk kepastiannya tentu harus  dilakukan pemeriksaan lewat USG atau dengan analisa hormon. Jika  ternyata ada kelainan hormonal hingga enggak subur, barulah diberi obat  penyubur.
  
TABLET DAN SUNTIK
  
Obat penyubur yang diberikan adalah obat pemicu  ovulasi atau pemecah telur, bisa berupa tablet atau suntikan. Pada  pasangan muda usia sekitar 20-30 tahun, terang Ali, biasanya diberikan  tablet dulu. Obat yang mengandung hormon ini, namanya klomifen sitrat  dan epimestrol. Banyaknya pemberian tablet tergantung siklusnya (bulan).  Bukankah menstruasi datangnya sebulan sekali? “Jadi, obat tersebut  diberikan sebulan sekali selama 5 hari, yaitu di hari ke-5 masa  menstruasi hingga hari ke-9.” Kemudian, pasangan diminta datang lagi  bulan depan untuk dilihat keberhasilan obat tersebut. “Bila dalam  pemberian satu siklus tak berhasil, maka dosis yang semula 50 mg  ditambah jadi 100 mg.”
  
Jika dalam 6 bulan atau setahun tak ada respon dalam  arti telurnya enggak matang atau tak tumbuh dengan baik, “barulah terapi  kesuburan dilakukan dengan cara suntik.” Namun pemberian obat penyubur  dengan cara suntik juga tak boleh sembarangan, “harus dipilih waktunya,  yaitu pada hari ke-2 sampai ke-9 masa menstruasi.” Hormon yang  disuntikkan adalah hormon yang mengandung FSH/LH atau FSH saja. Satu  suntikan sebanyak 75 IU (International Unit). Bila tak mempan juga,  dosisnya dinaikkan jadi 150 IU atau bahkan 225 IU.
  
Jadi, tegas Ali, telurnya dimatangkan, dari kecil  sampai besar hingga akhirnya pecah. Pembesaran sel telur ini dimonitor  lewat USG, dilakukan pada hari ke-11 dan ke-13. Telur baru bisa pecah  bila minimal diameternya 18-22 mm.
  
Bukan berarti cara suntik lebih berhasil dari tablet,  lo. Menurut Ali, efektivitasnya sama, kok, hanya tergantung usianya  saja. “Jika pada usia muda bisa berhasil dengan cara sederhana (tablet,  Red.), mengapa harus yang sulit? Ibarat orang menembak burung, jika  berhasil dengan senapan angin, kenapa harus dengan meriam?” Soalnya,  bila langsung digunakan suntikan, bisa terjadi kehamilan ganda atau  banyak, atau malah enggak hamil sama sekali.
  
HARUS DIHENTIKAN
  
Itulah mengapa, tegas Ali lagi, pemakaian obat  penyubur tak boleh sembarangan. “Harus secara rasional dan mengikuti  aturan pemberiannya. Tentu dengan berkonsultasi pada dokter, hingga  dokter bisa memonitor terus perkembangan sel telurnya.” Dengan demikian,  efek samping berupa kehamilan banyak bisa dicegah.
  
Soalnya, lewat monitoring, dokter jadi tahu apakah  kadar hormonnyatinggi atau tidak. “Bila tinggi, ini berbahaya karena ada  kemungkinan terjadi hiperstimulasi yang mengakibatkan kehamilan  banyak.” Hingga, pemakaian obat penyubur harus dihentikan. Kalau tidak,  bila sudah dibuahi dan tetap memakai obat penyubur, maka berisiko  bayinya cacat. Pokoknya, tandas Ali, jika dilihat dari USG telurnya  banyak dan beberapa sudah matang, “harus hati-hati, karena kita tak tahu  berapa telur yang akan jadi.”
  
Biasanya, pemakaian obat penyubur dilakukan pada  proyek bayi tabung. Sayangnya, untuk memonitor perkembangan sel telur  perlu biaya yang tak murah. Biaya untuk hormonnya saja, satu ampul Rp.  300 ribu. Bayangkan bila sampai 10 ampul, bisa menelan biaya Rp. 3 juta.  Sedangkan biaya 2 kali memonitornya dengan USG kurang lebih makan biaya  Rp. 300 ribu dan biaya periksa hormonnya Rp. 60 ribu.
  
Tampaknya memang harus dipikirkan betul segala risikonya, ya, Bu-Pak?
  
Dedeh Kurniasih . Ilustrasi : Pugoeh (nakita)
  
 
  
TAK BIKIN GEMUK
  
Kendati obat penyubur berisi hormon, tapi tak bikin  gemuk, lo. Soalnya, terang Ali, hormon yang diberikan bukan hormon  estrogen dan progesteron yang bisa bikin gemuk seperti halnya pil KB,  melainkan hormon FSH/LH atau FSH saja. Jadi, tak usah takut gemuk, ya,  Bu.